Resensi Novel Klasik

Hasil gambar untuk djawastin hasugian


I.                   IDENTITAS BUKU
a.       Judul                           : Dikejar Bayangan
b.      Nama Pengarang         : Djawastin Hasugian
c.       Tahun Terbit               : Tahun 2007
d.      Cetakan                       : Cetakan ke-9
e.       Tebal Buku                 : 104 Halaman
Sinopsis
            Pak Rambe adalah seorang duda yang baru saja ditinggal oleh istrinya selama dua bulan. Sekarang ini, ia tinggal bersama kedua anak dan Ibunya. Pak Rambe masih sering merasakan kehadiran istrinya di sisinya. Bukan hanya Pak Rambe saja yang merasakannya, namun anak dan Ibunya-pun masih merasakannya.
            Pagi itu cuacanya sangat cerah, Pak Rambe sedang berada di tengah pekarangan rumah, membakar sampah sambil menunggu anak – anak dan Ibunya yang terlalu lama pulang dari bukit. Ia menduga bahwa Mufti, Fitri, dan Ibunya pergi ziarah ke makam istrinya. Tetapi tak lama kemudian, terdengar suara mereka dari jalan mendaki di belakang rumah. Ketika mereka semua sedang berkumpul di tengah pekarangan, tiba – tiba ada seekor elang yang berputar diatas kepala mereka. Mereka merasakan bulu kuduk mereka mulai berdiri, entah karena apa. Mereka memang beragama,  namun mereka masih percaya takhyul yang mengatakan bahwa jika ada elang berputar diatas kepala mereka, maka itu berarti ada bayangan orang yang sudah meninggal yang sedang ingin bertemu. Untungnya yang percaya takhyul itu hanyalah Mufti dan Fitri, Pak Rambe mencoba untuk menjelaskan kepada mereka bahwa itu bukanlah bayangan dari Ibunya.
            Pak Rambe cukup sedih karena anak – anaknya pun masih belum bisa untuk melupakan Ibunya, Pak Rambe selalu mencoba untuk memberi pengarahan ketika mereka mulai merasa sedih kembali. Hiingga pada suatu hari, Ibunya, Nenek Tiorida, mengajak Pak Rambe untuk berbincang. Nenek Tiorida meminta Pak Rambe untuk menikah lagi. Pak Rambe sangat terkejut dengan permintaan Ibunya itu, bukan hanya Pak Rambe saja yang terkejut, Mufti yang menguping pembicaraan mereka sejak awal-pun sangat terkejut.
            Awalnya Pak Rambe menolak untuk menikah lagi, tetapi entah bagaimana bisa dalam kurun waktu dua – tiga hari ia akan melaksanakan pernikahan. Pak Rambe yang akan melaksanakan pernikahan itupun belum bercerita kepada Mufti dan Fitri. Akhir – akhir ini Mufti selalu ingin pulang lebih lama karena Bapaknya. Mufti merasa bahwa di rumah, ia tidak diperdulikan lagi. Bapaknya hanya mengurusi masalah pernikahan saja. Sebenarnya tidak hanya Mufti yang merasakan, namun Fitri juga merasakannya.
            Tiga bulan sudah Bu Mitra menjadi ibu tiri Mufti dan Fitri, namun Mufti dan Fitri masih ragu – ragu untuk memanggilnya dengan sebutan “Ibu”. Mitos yang mengatakan bahwa ibu tiri selalu jahat membuat pikiran anak – anak menjadi percaya bahwa semua ibu tiri itu jahat. Mereka beranggaoan bahwa ibu tiri tidak memiliki kasih sayang seperti ibu kandungnya, ibu tiri yang akan selalu mengomel jika berbuat kesalahan,  ibu tiri yang akan selalu memukul jika sedang marah, begitulah sekiranya pikiran tentang bayangan ibu tiri. Maka dari itu, Mufti dan Fitri pun berpikiran yang sama.
            Bu Mitra selalu mencari cara agar anak – anak tirinya itu mau menganggap bahwa ia  Ibunya. Ia selalu berkelakuan baik, namun tetap saja mereka masih memiliki pikiran negatif tentang sosok ibu tiri. Segala cara telah dilakukan oleh Bu Mitra, namun semuanya sia – sia. Bu Mitra merasa bahwa dirinya tidak dipedulikan dan diasingkan oleh anak – anaknya sendiri. Ia bingung harus berbuat apalagi, ia sudah terlalu sering mencari cara agar anak –anaknya mau menerimanya. Pak Rambe merasakan apa yang Bu Mitra rasakan. Pak Rambe merasa bahwa itu semua bukan hanya salah Bu Mitra, namun juga salah dirinya sendiri. Karena Pak Rambe terlalu sering sibuk diluar, mengurus kebun cengkehnya. Ia mersa bahwa anak – anak itu perlu pemahaman lebih banyak tentang ibu tiri.
            Ketika Pak Rambe sudah mau mulai mencoba untuk memperhatikan anak – anaknya, ia justru kehilangan salah seorang anaknya, Mufti. Pagi itu, saat Bu Mitra berangkat kerja lebih pagi dari biasanya, Fitri dimintai tolong oleh ibunya untuk mencuci piring setelah sarapan. Ketika Mufti dan Fitri sedang asyik bercerita tentang rencana Mufti yang ingin kabur sambil mencuci piring, Fitri memecahkan semua piring yang baru dibeli oleh Ibunya. Fitri ketakutan, namun Mufti merasa bahwa inilah waktu yang tepat untuk kabur dari rumah. Mufti sudah pasti akan kabur dari rumah. Fitri makin ketakutan ketika Ibunya pulang, ia menceritakan semuanya kepadanya. Tidak haya kepada Ibunya, namun juga keseluruh anggota keluarganya.
            Mufti kabur ke Padang Panjang, ia bingung harus tinggal dimana. Hingga akhirnya ia tinggal bersama calo tiket. Disana mereka saling berbagi cerita, bekerja bersama, dan saling merasakan satu sama lain. Mufti sangat senang tinggal bersama mereka. Ia merasa bahwa bebannya telah hilang.
            Namun ketika dua bulan berlalu, ia merasa sangat rindu kepada keluarganya, ia merasa bahwa yang ia lakukan adalah salah. Ia yakin dan tahu pasti bahwa keluarganya akan mencarinya. Ia bimbang, ia harus tetap tinggal atau kembali ke rumah. Setelah mendapat nasihat dari ... Mufti memutuskan untuk kembali pulang. Betapa terkejut dan bahagianya keluarganya ketika mendapati ia pulang. Dan disaat Mufti pulang, kebun cengkeh hasul perjuangan kedua orang tuanya bersama Mufti dan Fitri sedang panen. Mufti berjanji untuk melanjutkan sekolahnya setinggi mungkin, seperti apa yang Bapaknya inginkan.
II.                KELEBIHAN BUKU
Kelebihan dari buku ini adalah bukunya sangat bagus. Karena mengajarkan kepada pembaca hal – hal yang baik, salah satunya yaitu jangan berprasangka buruk terhadap orang lain. eperti pada saat Mufti dan Fitri yang berpikiran bahwa ibu tiri selalu jahat. Padahal sebenarnya tidak semua ibu tiri itu jahat, bahkan itu sudah terbukti oleh ibu tirinya sendiri. Selain itu juga bahasa dan kata – kata yang digunakan mudah untuk dipahami.
III.             KEKURANGAN BUKU
Kekurangan dari buku ini adalah terdapat tanda baca yang tidak seusai dengan kalimatnya, sehingga membuat pembaca bingung bagaimana nada baca yang seharusnya.
IV.             PENILAIAN
      Buku ini cocok dibaca untuk anak berusia 12+, karena pada saat usia itu umumnya anak
mengalami pubertas dan mulai semakin mengerti baik atau buruknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini